SEBUAH KUTUKAN
Bermula dari semacam keterluntaan, kau datang
Dengan kalimat-kalimat panjang, senyum yang dipaksakan
Kau datang padaku dengan sajak-sajak yang ditulis
Sebagai pernyataan. Tapi sajak adalah kutukan bagiku
Di mana ruang menjadi jurang, dan kita harus melompat ke
Untuk menyongsong lahirnya pengucapan baru
Betapa tersiksa membaca sajak-sajak sayupmu
Dengan segenap kesadaranku yang semakin redup
Kulihat lampu-lampu padam, seperti langkah olengmu
Yang terlepas dari pedihnya setiap penciptaan:
Sebuah kutukan, di mana keterluntaan kau dan aku
Akan menjadi bagian dari kerumunan waktu yang tak kekal Acep Zamzam Noor
(TIFA, Media
WALAU
walau penyair besar
takkan sampai sebatas allah
dulu pernah kuminta tuhan
dalam diri
sekarang tak
kalau mati
mungkin matiku bagai batu tamat bagai pasir tamat
jiwa membumbung dalam baris sajak
tujuh puncak membilang bilang
nyeri hari mengucap ucap
di butir pasir kutulis rindu rindu
walau huruf habislah sudah
alifbataku belum sebatas allah
1979
(O Amuk Kapak- Tiga Kumpulan Sajak Sutardji Calzoum Bahri, Penerbit: Yayasan
SADJAK
Apakah arti sadjak ini
Kalau anak semalam batuk-batuk,
bau vicks dan kajuputih
melekat di kelambu,
Kalau isteri terus mengeluh
tentang kurang tidur, tentang
gadjiku yang tekor buat
bajar dokter, budjang dan makan sehari,
Kalau terbajang pantalon
sudah sebulan sobĕk tak terdjahit.
Apakah arti sadjak ini
Kalau saban malam aku lama terbangun :
Hidup ini makin mengikat dan mengurung.
Apakah arti sadjak ini :
Piaraan anggerĕk tricolor di rumah atau
pelarian ketjut ke hari achir?
Ah, sadjak ini,
mengingatkan aku kepada langit dan mĕga,
Sadjak ini mengingatkan kepada kisah dan keabadian.
Sadjak ini melupakan aku kepada pisau dan tali
Sadjak ini melupakan kepada bunuh diri.
(SIMPHONI kumpulan sadjak Subagio Sastrowardojo, Penerbit: Badan Penerbit PUSTAKA JAYA – JAJASAN JAYA RAYA,
RUMAHKU
Rumahku dari unggun-timbun sajak
Kaca jernih dari luar segala nampak
Kulari dari gedong lebar halaman
Aku tersesat tak dapat jalan
Kemah kudirikan ketika senjakala
Di pagi terbang entah ke mana
Rumahku dari unggun-timbun sajak
Di sini aku berbini dan beranak
Rasanya lama lagi, tapi datangnya datang
Aku tidak lagi meraih petang
Biar berleleran kata manis madu
Jika menagih yang satu.
27 April 1943